• Edisi Nopember 2017
  • Edisi Oktober 2017
  • Edisi September 2017
  • Edisi Agustus 2017
  • Edisi Juli 2017
  • Edisi Juni 2017
  • Edisi Mei 2017
  • Edisi April 2017
  • Edisi Maret 2017
  • Edisi Pebruari 2017
  • Edisi Januari 2017
  • Edisi Desember 2016
  • Edisi Nopember 2016
  • Edisi Oktober 2016
  • Edisi September 2016
  • Edisi Agustus 2016
  • Edisi Juli 2016
  • Edisi Juni 2016
  • Edisi Mei 2016
  • Edisi April 2016
  • Edisi Maret 2016
  • Edisi Februari 2016
  • Edisi Januari 2016
  • Edisi Desember 2015
  • Edisi November 2015
  • Edisi Oktober 2015
  • Edisi September 2015
  • Edisi Agustus 2015
  • Edisi Juli 2015
  • Edisi Juni 2015
  • Edisi Mei 2015
  • Edisi April 2015
  • Edisi Maret 2015
  • Edisi Februari 2015
  • Edisi Januari 2015
  • Edisi Desember 2014
  • Edisi November 2014
  • Edisi Oktober 2014
  • Edisi September 2014
  • Edisi Agustus 2014
  • Edisi Juli 2014
  • Edisi Juni 2014
  • Edisi Mei 2014
  • Edisi April 2014
  • Edisi Maret 2014
  • Edisi Pebruari 2014
  • Edisi Januari 2014
  • Edisi Desember 2013
  • Edisi Nopember 2013
  • Edisi Oktober 2013
  • Edisi September 2013
  • Edisi Agustus 2013
  • Edisi Juli 2013
  • Edisi Juni 2013
  • Edisi Mei 2013
  • Edisi April 2013
  • Edisi Maret 2013
  • Edisi Pebruari 2013
  • Edisi Januari 2013
  • Edisi Desember 2012
  • Edisi Nopember 2012
  • Edisi Oktober 2012
  • Edisi September 2012
  • Edisi Agustus 2012
  • Edisi Juli 2012
  • Edisi Juni 2012
  • Edisi Mei 2012
  • Edisi April 2012
  • Edisi Maret 2012
  • Edisi Pebruari 2012
  • Edisi Januari 2012
  • Edisi Desember 2011
  • Edisi Nopember 2011
  • Edisi Oktober 2011
  • Edisi September 2011
  • Edisi Agustus 2011
  • Edisi Maret 2010
  • Kembali
Majalah Gembala GKJ Nehemia Online

Diakonia dari Masa ke Masa

Picture
Membantu menyejahterakan warga dalam masalah sosial dan ekonomi adalah penting, Jemaat merasa malu kalau ada seorang anggotanya miskin dan lapar. Keselamatan  bukan sekedar keselamatan jiwa-jiwa untuk masuk Surga, tetapi juga peningkatan taraf kesejahteraan hidup.
 
Pelayanan diakonia sebagai salah satu misi Gereja telah dilakukan sejak gereja perdana. Pelayanan yang bertujuan untuk membantu mengatasi masalah kesejahteraan sosial warga jemaat ini didasarkan pada kesadaran gereja bahwa, membantu menyejahterakan warga dalam masalah sosial dan ekonomi adalah penting, karena tidak sedikit warga yang karena berbagai sebab mengalami kesulitan hidup. Untuk mengetahui bagaimana kegigihan pendahulu-pendahulu kita dulu, yang dalam keadaan   serba terbatas dalam daya dan dana, tetap mampu memikirkan dan melakukan misi kediakoniaan. Beberapa kegiatan tersebut dipaparkan  secara singkat disini.

Abad pertama Masehi
Kehidupan sehari-hari
Jikalau kita hendak mengenal kesungguhan dan kekuatan yang sebenarnya dari agama Kristen pada abad-abad pertama Masehi, baiklah kita melayangkan pandangan kita kepada pendirian kaum Kristen di dalam hidup sehari-hari ditengah-tengah masyarakat zaman itu. Ketika jemaat hanya merupakan suatu kelompok kecil di tengah dunia yang bukan Kristen dan agamanya masih dihina, nyata betapa indah dan istimewa hidupnya.. Sebagaimana dikatakan  Paulus, bahwa “ di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, jemaat Kristen bercahaya seperti bintang-bintang di dunia” ( Fil.2:15).

Dalam perdagangan dan pergaulan umum dengan sesama, kaum Kristen tidak menipu atau berdusta; suatu hal yang luar biasa pada zaman itu. Ketika batas antara Gereja dengan dunia yang bukan Kristen makin kabur,  perbedaan derajat dan kebajikan itu tetap nampak.
 
Tentang milik
Milik itu adalah pinjaman dari Allah. Sebab itu,  milik perseorangan diakui baik, asalkan anggota jemaat sadar dan ingat, bahwa ia bertanggungjawab selaku hamba Tuhan atas miliknya. Segala kelebihan baiklah diserahkan kepada yang berkekurangan. Jemaat merasa malu kalau ada seorang anggotanya miskin dan lapar. Jurang perbedaan yang mendalam antara kemiskinan dan kekayaan di dalam masyarakat, harus dianggap sebagai suatu keadaan sosial yang salah dan tidak berkenan di hadapan Tuhan dan sesama manusia. Gereja pada masa itu belum  mengerti panggilan dan tugasnya untuk memberantas dan membasmi  keadaan yang kurang adil itu demi Injil pengasihan Tuhan.
 
Perbudakan
Pada masa itu, orang Kristen memandang bahwa perbudakan adalah hal yang biasa. Mereka pun mempunyai budak, dan budak Kristen dinasehati, supaya melayani tuannya dengan patuh., tulus ikhlas dan sabar. Sebaliknya dituntut dari tuan-tuan Kristen , supaya mereka memperlakukan budaknya dengan peri kemanusiaan, sehingga nasib budak orang Kristen jauh lebih baik daripada yang lain. Akan tetapi yang lebih penting lagi ialah di dalam lingkungan jemaat sendiri tak ada perbedaan antara tuan dan budak, melainkan semua bergaul selaku saudara-bersaudara, satu di dalam Kristus.
 
Pengamalan
Sidang Kristen zaman itu suka memberi derma dan pertolongan dengan tulus hati. Pemberian jemaat diletakkan di atas meja Tuhan dalam tiap-tiap kebaktian, lalu dibagi-bagikan oleh syamas-syamas. Yang diberi bantuan ialah golongan  orang miskin, janda, piatu, orang tua-tua dan orang hukuman.  Siapa saja yang berkekurangan dikunjungi dan diberi pertolongan. Kepada kaum bukan Kristen, Gereja beramal, umpamanya apabila rakyat ditimpa suatu bencana. Demikian juga jemaat lain diberi pertolongan, kalau mereka mendapat kesukaran atau menderita penghambatan.
 
Perawatan orang sakit
Dalam masyarakat masa itu belum ada rumah sakit. Umat Kristenlah yang mulai memperhatikan nasib orang sakit. Perawatan orang sakit  yang sangat perlu itu diserahkan kepada janda-janda, sedang pemeliharaan hidup mereka menjadi tugas khusus syamas-syamas (diakones).
 
     Segala perbuatan jemaat Kristen diatas menyebabkan banyak orang tertarik kepada Gereja, sehingga mulai abad ke III Gereja berkembang dengan cepat. Gereja Lama memasyurkan Injil Tuhan  terutama dengan jalan memperlihatkan kasih Kristus di dalam perbuatan dan hidup sehari-hari, dan bukan dengan pengajaran dan kebaktian saja.
 
Pada masa-masa selanjutnya
Tahun 1833, Wichern ( pendeta pembantu di Bandar Hamburg) membuka sebuah rumah untuk melepaskan perempuan-perempuan sundal dari hidupnya yang cemar dan untuk mendidik anak-anak yang terlantar. Wichern sangat terharu melihat kemiskinan, kemelaratan  dan dosa di antara rakyat jelata.  Ia juga memperhatikan nasib orang-orang hukuman di penjara-penjara, kaum emigran (orang yang berpindah-pindah negeri, khususnya di Amerika).Ia membuka rumah penginapan Kristen dan lain-lain. Pada tahun 1848, Wichern berhasil mengangkat tugas sosial itu menjadi tugas resmi Gereja.
 
Tahun 1836, Fliedner (1800- 1864) mendirikan sebuah rumah latihan diakones dalam jemaatnya  Kaiserwerth di tepi sungai Rin. Diakones-diakones itu membaktikan tenaganya untuk pengajaran, perawatan orang sakit dan pengamalan.
 
Lohe  (Wilhem Lohe), seorang pendeta Bavaria berpendirian bahwa segala usaha sosial itu harus dikerjakan oleh Gereja saja dan bukan oleh perhimpunan-perhimpunan partikulir. Rumah diakones Lohe di Neuendettelsau yang bersemangat Lutheran, menjadi pusat banyak  pekerjaan belas kasihan Injili di Bavaria. Semboyannya: “Apakah yang kukehendaki? Melayani! Melayani siapa? Tuhan, di dalam semua kaum yang melarat dan miskin. Dan apakah upahku? Upahku ialah bahwa saya boleh berbuat demikian!”. Misi Sendingnya di luar negeri dimulai tahun 1841.
 
Heldring, mulai tahun 1848 mendirikan rumah-rumah pemeliharaan perempuan dan gadis yang telah jatuh ke dalam dosa, di Zetten, Belanda. Ia terharu hatinya oleh ayat Alkitab yang menguraikan tugas Pekabaran Injil (Yehezkiel 34: 4) yang berbunyi:” Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari”.
 
George Muller, pendeta Baptis di Bristol. Sejak 1875 sampai ajalnya dalam usia 93 tahun ia menyerahkan diri kepada pekerjaan evangelisasi yang khusus. Suatu ciri yang luar biasa dari pekerjaannya, ialah bahwa ia tidak pernah meminta sokongan berupa uang, tetapi percaya bahwa atas doanya Tuhan akan mencukupi segala keperluannya dengan menggerakkan hati orang untuk menyumbangkan dermanya.
 
William Booth (1829-1912), seorang pendeta Metodis, di London-Timur, mendirikan organisasi “Salvation Army”. ( Bala Keselamatan).Organisasi dengan bentuk militer, dengan  Booth sendiri sebagai jendralnya.. Pekerjaan sosial yang dilakukan oleh Bala Keselamatan di seluruh dunia adalah : pemberantasan terhadap percabulan, kemabukan, pencurian, dan pengangguran, dan perhatiannya terhadap orang yang berkekurangn, yang sakit, yang jatuh ke dalam dosa, yang terlantar, dsb.. Mereka turun ke dalam lapisan masyarakat yang biasanya kurang dihiraukan Gereja.

Di Jawa pada abad 19 sampai awal abad 20
Kehidupan pedesaan di Jawa pada umumnya dan komunitas Kristen khususnya amat sederhana dan merupakan taraf kehidupan sosial ekonomi yang sangat rendah. Dalam pelaksanaan misi penginjilannya gereja-gereja awal di Jawa melalui penginjil-penginjil  seperti P. Janz, Tunggul Wulung, Coolen, Karolus Wiryoguno, Ditotruno, Paulus Tosari  melakukan:   
~ Pembukaan hutan dan pembentukan desa Kristen. Pembukaan tanah hutan untuk lahan pertanian,
pemukiman sekaligus merupakan usaha untuk meningkatkan taraf hidup sosial umat. Disamping itu warga diajar bagaimana mengatur hidup secara baik, menurut peraturan Kristen yang ditetapkan, juga diajar mengolah tanah secara efisien dan produktif.
~ Komunitas Sadrach mengumpulkan dana dari warganya untuk menyewa tanah yang cukup luas dari bekas perkebunan Pemerintah Belanda dalam jangka waktu yang cukup lama, kemudian dibagikan kepada mereka yang miskin. Mereka dapat mendirikan rumah sederhana dengan gotong royong, dan menanam tanaman di pekarangannya untuk mata pencaharian. Komuniitas juga mendirikan Sinoman (semacam koperasi kecil-kecilan), untuk menyediakan dana untuk usaha untuk menghadapi datangnya musim paceklik, sehingga mereka tidak perlu terjerat oleh rentenir.
~ Pembukaan desa-desa Kristen baru (sekitar 1848) seperti Mojowarno (pimpinan Ditotruno), Mojowangi ( Eliezaar Kunto), dan Mojoroto (Karolus Wiryoguno), dalam rangka meningkatkan hasil pertanian warga, desa-desa dibuatkan bendungan untuk saluran irigasi persawahan.
Musim paceklik diantisipasi dengan pembuatan lumbung-lumbung  yang dinamakan ‘lumbung pirukunan’, dimana persembahan natura dari para warga desa disimpan. Mereka yang miskin mendapatkan bantuan karitatif melalui persembahan jemaat, dengan menempatkan kotak-kotak persembahan untuk orang miskin.  Gerakan menabung diperkenalkan melalui wadah semacam koperasi simpan pinjam yang diberi nama : Oedoyo.
 
Siapa sebenarnya yang wajib kita tolong.
Dalam hidup ini yang wajib kita kerjakan adalah saling tolong menolong, karena harus jujur kita akui bahwa kita ada sebagaimana kita ada saat ini juga karena banyak orang telah menolong kita. Selalu ada saja orang yang Tuhan pakai untuk menolong kita. Karenanya kita wajib menolong orang-orang yang demikian:
  1. Mereka yang melayani dengan tulus. Bukan orang yang melayani karena ada kepentingan pribadi.
  2. Mereka yang berkekurangan namun tetap kuat dalam iman.
  3. Mereka yang dicobai namun tetap menolak dosa.
  4. Mereka yang sedang kecewa khususnya kepada para hamba Tuhan.
 
 Penutup
Dengan pemaparan diatas, mengingatkan kita bahwa banyak hal yang dapat dilakukan oleh Gereja dalam melaksanakan pelayanan diakonia. Semoga kita diberikan kekuatan dan berkat lebih oleh Bapa di Surga untuk kita bisa melaksanakan lebih banyak tugas mulia tersebut dan menjangkau lebih banyak  orang. Penting untuk dipahami bahwa, bantuan melalui program diakonia haruslah hanya merupakan kail untuk membuat penerima bantuan menjadi diberdayakan dan mampu menjadi mandiri, atau dengan kata lain membuat penerima bantuan tidak menjadi hidup dalam kemiskinan kultural.Dalam pengertian modern diakonia tidak  sekedar pelayanan karitatif, melainkan perlu dikembangkan ke usaha mengembangkan  tingkat taraf kehidupan yang lebih sejahtera melalui pembangunan sosial ekonomi atau pemberdayaan sosial ekonomi jemaat, agar tercipta jemaat yang hidup dalam semangat mutualisme dan bukan individualisme. Karya Tuhan yang menyelamatkan bersifat holistik/komprehensif. Keselamatan  bukan sekedar keselamatan jiwa-jiwa untuk masuk Surga, tetapi juga peningkatan taraf kesejahteraan hidup. Dari beberapa sumber. Depok, 8 Juni 2016. Munari.

Diakonia yang "Diakoni"

Picture
Pendahuluan
Masih ada sudut pandang yang sempit dikalangan gereja yang mengatakan bahwa kemiskinan , ketidakadilan, dan penyakit sosial lainnya bukan tugas gereja. Gereja tidak harus terlibat dalam berbagai penyakit masyarakat karena ini adalah tugas pemerintah.Banyak tokoh-tokoh agama yang berpikir normatif dan lebih memberi prioritas pada urusan ritual dan dogma, dan menganggap keadilan hanya akan didapat di surga. Padahal didepan mata nyata-nyata ada kemiskinan dan ketidakadilan.Orang tidak bisa hanya disuruh pasrah atau nrimomusibah yang menimpa mereka sebagai takdir, dan hanya diberi angin surga yang memabukkan bahkan menyesatkan.Pandangan semacam ini disebut sebagai “kesesatan agung” atau the great fallacy (Brown).

Sebagai orang Kristen yang sering ke gereja, tentu pernah mendengar bahkan akrab dengan istilah diakonia, dan bila ditanya apa itu diakonia, jawabannya pasti“pelayanan”. Lebih jelas lagi akan dijawab diakonia adalah kegiatan yang dilakukan oleh majelis gereja khususnya Diaken. Diakonia sebagai salah satu dari tiga tugas gereja selain bersekutu dan bersaksi,terkadang program-programnya kurang mendapat prioritas utama digereja.Diaken juga seringkali kalah pamor dengan Pendeta dan Penatua.Ini salah kaprah, karena stereotip tentang Diaken adalah mereka yang tugasnya hanya menghitung uang kolekte plus kegiatan sosial di gereja seperti menyantuni warga miskin, para janda, dan anak yatim piatu.Tugas rutin para Diaken dari tahun ketahun hanya menentukan berapa banyak santunan yang dialokasikan dan diberikan kepada siapa.

Pada dasarnya diakonia adalah “pelayanan kasih”, namun gereja masa kini pelayanan kasih saja nampaknya belum cukup.Diakonia dalam kondisi sekarang lebih dimaknai sebagai diakonia sosial yang lingkupnya inklusif dan keluar batas teritorial gereja.Diakonia dituntut untuk lebih peka dan proaktif, serta memberi banyak manfaat tidak hanya kepada warganya, tetapi juga terhadap lingkungan disekitarnya.

Melihat judul diatas tentu agak aneh kedengarannya, karena jika ada diakonia yang diakoni, apakah ada diakonia yang tidak diakoni? Kepada pembaca yang paham bahasa jawa pasti mengerti arti diakoni, itulah sebabnya dalam penulisan sengaja diketik pakai huruf miring atau  italic.Berikut adalah sedikit rekaan tentang apa dan bagaimana diakonia, dan kira-kira bentuk diakonia seperti apa yang dapat diakui (diakoni) oleh warga gereja dan masyarakat sekitar sebagai penerima “pelayanan kasih”

Jemaat sebagai basis diakonia
Ciri khas diakonia berbasis jemaat adalah diakonia yang membutuhkan kepemimpinan visioner, partisipatif, dan mampu menggerakkan inisiatif warga gereja secara bersama-sama.Diakonia berbasis jemaat dibangun atas dasar keinginan bersama untuk berbagi dalam pelayanan kasih bagi warga gereja dan masyarakatdengan melibatkan banyak orang. Pelayanan kasih tidak lagi bermodalkan hanya pada apa yang dimiliki gereja yang berupa dana maupun asset, melainkan sudah lebih kepada apa yang ada di gereja yaitu potensi bersama dari seluruh warga gereja. Dengan demikian target diakonia tidak hanya pada apa yang ingin dicapai dari program diakonia tradisional seperti yang telah disusun oleh komisi diakonia.Target utama adalah perubahan sikap mental dan perilaku semua orang yang terlibat dalam pelayanan diakonia baik sebagai pemberi maupun sebagai penerima.

Diakonia berbasis jemaat dibangun dengan semangat “menjadi apa” sehingga mampu menggerakkan pertumbuhan kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang membutuhkan.Dalam gerakan diakonia berbasis jemaat, warga tidak lagi terpaku pada perbedaan, melainkan mencari kebersamaan, kesejahteraan, dan hidup saling berdampingan dengan sesama warga gereja maupun masyarakat disekelilingnya.

Sekalipun diakonia ada didalam institusi resmi gereja, diakonia berbasis jemaat tidak boleh terkurung dalam struktur organisasi yang kaku.Diakonia harus memelopori dan mengembangkan sikap terbuka karena tidak dapat dipisahkan dengan jemaat sebagai dasarnya.Perlu dilakukan perubahan paradigma dari diakonia tradisional menjadi diakonia berbasis jemaat yang tidak hanya bertumpu pada kekayaan gereja secara materi, melainkan bertumpu pada jati diri gereja itu sendiri.

Gereja untuk kebaikan bersama (bona ecclesiae)
Diakonia yang bertujuan mengembangkan gereja untuk kebaikan bersama (bona ecclesiae) tidak dapat direduksi menjadi aktivitas tunggal orang perorang.Diaken mempunyai peranan penting untuk menjadikan gereja bagi semua, melayani masyarakat, dan yang terpenting adalah gereja dari dan untuk kaum miskin dan terpinggirkan.Inklusifitas menjadi kunci utama untuk mengukur sampai dimana rahmat dan berkat Tuhan telah tergambar dalam kehidupan gereja.Dengan demikian diakonia ditantang untuk tidak selamanya mendukung status quo, tetapi harus berani melakukan terobosan dan menggali potensi warga jemaat untuk kebaikan bersama.

Gereja untuk kebaikan bersama adalah gereja yang mengembangkan diakonia sosial yaitu diakonia yang tidak dibatasi oleh kerangka kelembagaan gereja, tetapi dibangun atas dasar persoalan kehidupan yang dihadapi bersama.Dengan demikian diakonia menjadi sebuah gerakan pembebasan yang nyataatas keprihatinan bersama.  Untuk menunjang program diakonia sosial,  gereja diharapkan tidak hanya mengandalkan persembahan warga. Sebagai contoh misalnya, komisi diakonia dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki warga untuk memulai sebuah wira usaha sosial yang akan menjamin kelangsungan program diakonia.Melalui wira usaha sosial, program diakonia dilakukan mulai dengan pemetaan potensi manakah yang bisa berguna bagi warga gereja maupun masyarakat. Selanjutnya akan tercipta peluang kerjasama untuk membangun permodalan, produksi, distribusi, dan seterusnya. Dengan demikian diakonia mampu menciptakan inovasi-inovasi dalam pelayanan sosial yang bertujuan untuk membangun kebersamaan dan kemandirian baik didalam maupun diluar gereja.Dengan wira usaha sosial diakonia mampu untuk memperjuangkan hak-hak kaum miskin dan terpinggirkan, dan juga bisa menggerakkan orang kaya untuk terlibat langsung dalam masalah sosial tanpa merasa dirugikan.

Perspektif teologis diakonia abad ke 21
Sesuai dengan definisinya Diakonia adalah tanggung jawab pelayanan dari pekabaran injil melalui perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh orang Kristen sebagai jawaban atas kebutuhan umat manusia (Dictionary of the Ecumenical Movement).Namun dalam kenyataannya gereja lebih banyak berdiskusi tentang program diakonia tetapi minim pelaksanaan.Akhirnya kembali lagi pada siapa pemberi dan siapa yang menjadi penerima diakonia, tanpa ada langkah konkrit yang melibatkan warga gereja untuk mengemban tugas diakonia secara bersama-sama.Mengingat tantangan yang lebih beragam di masyarakat kini diakonia lebih menuntut aksi nyata dan tidak dapat dibatasi hanya dengan perhatian dan pernyataan keprihatinan.

Dalam abad ke 21 yang masih beusia muda ini interaksi antar manusia lebih banyak melalui peralatan elektronik, sehingga manusia kehilangan kontak langsung yang melibatkan emosi dan perasaan.Ini berdampak pada makin tersingkirnya kaum miskin dan lemah karena tidak mampu berinteraksi dan tidak tahu harus mengadu kemana, sementara itu gereja ikut larut dalam kemajuan teknologi sampai-sampai pelaksanaan kebaktian maupun pemahaman alkitab-pun di digitalisasi.Akibat dari semua ini kini banyak terlihat kecenderungan diskriminasi dan dehumanisasi hanya karena tidak mampu mengejar ketertinggalan yang berakibat pada semakin besarnya jurang antara kaya dan miskin.Mengantisipasi hal ini gereja telah mengembangkan diakonia sosial yang lebih dinamis, kontekstual, berdayaguna, dan tepat guna.Kerjasama dilakukan tidak hanya secara internal diantara pengurus gereja dan warganya, tetapi juga antar gereja lokal melalui jaringan sosial untuk mempromosikan nilai-nilai keadilan, kedamaian, dan martabat umat manusia.

Program diakonia pembebasan / transformasi
Melihat begitu kompleksnya masalah di masyarakat, gereja dituntut untuk berbenah diri dalam pelayanan diakonia.Kini gereja tidak bisa lagi berbangga telah memberikan santunan kepada jemaatnya yang miskin dan mendirikan pusat-pusat pelayanan kesehatan dan lain-lain, sementara disekitarnya masih terjadi masalah ketidak adilan, diskriminasi, dan dehumanisasi.Dalam situasi seperti ini gereja harus menerapkan diakonia pembebasan atau transformasi yang melayani umat manusia secara multi-dimensional dan juga multi-sektoral.Ini adalah proses yang berkelanjutan untuk menolak pelecehan kemanusiaan dan mempromosikan kedamaian dan keadilan di masyarakat.

Diakonia transformasi melibatkan dan mengubah semua yang terlibat, sehingga dengan demikian dapat mencegah timbulnya sindroma diakonia yang justru memisahkan antara “kita dan mereka”.Karena tak seorangpun yang terbebas dari kerentanan, maka kita semua harus melakukan diakonia pembebasan, rekonsiliasi, dan penguatan.Pertama-tama adalah diakonia Allah seperti yang diwujudnyatakan oleh Yesus Kritus, kemudiansaling peduli dan saling tolong menolong kepada sesama.

Diakonia transformasi adalah suatu proses, tapi pada saat yang sama transformasi menggambarkan suatu tujuan tercapainya situasi dimana martabat manusia lebih dihormati dalam kedamaian dan keadilan bagi semua. Jadi diakonia transformasi sangat dekat dengan perubahan, kemajuan dan pengembangan sosial di tengah warga gereja dan masyarakat.
Secara garis besar diakonia transformasi dapat digambarkan sebagai:
  1. Ibadah dan perwujudan kerajaan Allah,
  2. Upaya untuk menciptakan perdamaian dan persaudaraan,
  3. Upaya untuk menciptakan keadilan sosial,
  4. Upaya untuk menciptakan kemanusiaan dan kesjahteraan bagi semua,
  5. Upaya untuk melestarikan lingkungan hidup.


Penguatan/pemberdayaan
Dalam konsep teologia, penguatan merujuk kepada pengertian alkitab tentang penciptaan dimana setiap manusia diciptakan sesuai dengan gambar Allah, terlepas dari situasi sosial yang dihadapinya.Harus diingat bahwa penguatan atau pemberdayaan berarti pergeseran kekuatan yang menuju kepada keseimbangan kekuatan yang harus ditangani secara kritis.Diakonia harus senantiasa mengetengahkan isu ini tidak hanya di masyarakat, seperti hubungan antara penolong dan yang ditolong, melainkan juga dalam praktek pelaksanaan diakonia di gereja.Seringkali kedigjayaan dan wewenang diakoniatidak terdengar gaungnya, bahkan dalam berbagai kasus disamarkan dibalik bahasa pelayanan.

Kaum wanita banyak dilibatkan dalam kegiatan diakonia di gereja.Ada beberapa alasan tentang hal ini, mulai dari latar belakang sejarah gereja hingga kepemimpinan gereja yang selalu dipimpin oleh pria dan memberi sedikit peran bagi wanita.Asumsi bahwa peranan diakonia cocok untuk wanita hanyalah alasan yang dibuat-buat dan merupakan feminisasi peran diakonia di gereja.Feminisasi peran diakonia di gereja tidak sesuai dengan dasar teologis karena diakonia adalah milik seluruh tubuh Kristus dimana pria dan wanita terpanggil untuk berpartisipasi. Pendekatan gender dalam diakonia diperlukan untuk penguatan yang menyeimbangkan peran wanita dan pria dalam dimensi praktis dan strategis. Dengan pendekatan seperti ini ditambah dengan pelatihan yang intensif diharapkan muncul pribadi-pribadi yang mumpuni untuk bekerja diladang diakonia.

Kesimpulan
Abad ke 21 memberikan kesempatan bagi manusia umtuk melakukan berbagai inisiatif dan perjuangan untuk kebebasan, martabat, dan kehidupan yang lebih baik di berbagai belahan dunia manapun.Ini adalah kesempatan bagi gereja untuk mencoba melaksanakan diakonia dengan cara yang kreatif sambil menemukan kembali jati dirinya.

Diakonia dengan pendekatan wira usaha sosial dapat menjamin kelanjutan program diakonia yang bisa dinikmati bersama dan kerjasama dengan berbagai pihak.Diakonia yang hanya berpusat pada satu kelompok warga jemaat saja akan memicu konflik dan perselisihan, demikian juga diakonia yang berupa pelayanan keluar tanpa sikap kritis dan perencanaan yang matang akan menjadi alat bagi pihak yang tidak berkenan untuk menuduh sebagai langkah kristenisasi.

Akhirnya, diakonia yang diakui (diakoni)oleh warga jemaat dan masyarakat adalah bila:
  1. Diakonia mampu menjawab semua persoalan tanpa harus kehilangan makna terdalamnya sebagai pelayanan kasih,
  2. Diakonia dapat memenuhi kebutuhan, dan kesejahteraan bagi orang yang terpinggirkan dan rentan terhadap kemiskinan,
  3. Diakonia mampu menciptakan perdamaian, persaudaraan dan keadilan sosial,
  4. Diakonia mampu menjaga kelestarian lingkungan hidup,
  5. Diakonia mampu menyingkirkan jurang pemisah antara gereja dan dunia disekitarnya,
  6. Diakonia dapat memberdayakan warga gereja dan masyarakat untuk menghadapi tantangan hidup, tidak berdasarkan kekuatan, melainkan berdasarkan cinta kasih (not in the love of power, but in the power of love).
“Maka sekarang, sama seperti kamu kaya dalam segala sesuatu, -- dalam iman, dalam perkataan, dalam pengetahuan, dalam kesungguhan untuk membantu, dan dalam kasihmu terhadap kami -- demikianlah juga hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini” (2 Korintus 8:7)
 
Catatan: Disarikan dari berbagai sumber.
Alfred Bawole, 6 Juni 2016, Jeddah-Saudi Arabia

Diakonia dan Pembangunan Milenium

Picture
“Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing,  kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat  Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.”(Mat 25 : 35-36).

Diakonia berarti memberi pertolongan atau pelayanan, dan itu merupakan tugas seluruh umat manusia, sedangkan di gereja tugas itu dilaksanakan oleh  Penetua, Pendeta teutama Diaken beserta seluruh waraga jemaat, bertujuan agar damai sejahtera Allah menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Sedangkan pemerintah kita dalam salah satu program Nawa Cita  adalah meningkatkan kualitas hidup manusia melalui Indonesia pintar, kerja, dan sejahtera. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mencanangkan target untuk mencapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat, dan disebut Pembangunan Milenium. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dibahas dalam tulisan ini, dan diawali dengan Diakonia dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Indonesia pintar, kerja dan sejahtera, serta Pembangunan Milenium. Kritik dan saran yang membangun sangat dinantikan demi kelengkapan materi pembahasannya.

DIAKONIA DALAM PERJANJIAN LAMA
Allah menciptakan segala sesuatu  yang tidak ada menjadi ada dan semua yang diciptakan Allah sungguh amat baik, dan Allah membuktikan pemeliharaanNya secara khusus ditujukan kepada manusia sebagai pelayanan. Manusia sebagai wakil Allah juga harus melayaniNya  dalam mengurus bumi beserta seluruh isinya. Meskipun manusia banyak kelemahan, kesalahan, dan dosa dalam mengurus ciptaan Allah, namun Allah senantiasa memberikan pertolongan, berkat dan pengampunan dengan belas kasihanNya agar manusia dapat memuliakanNya. Pemeliharaan Allah kepada ciptaanNya dapat terlihat dalam sejarah kehidupan umat manusia dalam Perjanjian lama dengan munculnya tokoh-tokoh dan para nabi dalam kitab Perjajian Lama, dan puncak pertolongan atau pelayanan Allah adalah dengan lahirnya Juru Selamat manusia di dunia untuk menuntaskan, menyelamatkan dan menyempurnakan visi Allah  terciptanya Kerajaan Surga  sebagai pengganti Firdaus yang telah gagal akibat dosa manusia, dan ini semua karena karya Yesus Kistus  sebagai Diaken yang sejati.

DIAKONIA DALAM PERJANJIAN BARU
“Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu ! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.”  (Gal 6 : 2)
Sifat dan sikap gereja dalam berdiakonia berdasar pada sifat dan sikap Yesus Kristus sebagaimana telah dinyatakan dan dilakukan di dalam pelayananNya, Dia bukan  hidup untuk diriNya sendiri tetapi juga untuk orang lain. Demikian juga orang Kristen telah menjadi warga gereja atau tubuh Kristus, baik secarta pribadi maupun secara bersama-sama gereja harus melakukan pelayanan terhadap sesama anggota dan orang lain di luar persekutuan. Semua pelayanan kita haruslah menjadi suatu jawaban terhadap Allah yang lebih dahulu mengasihi kita. Jadi konsep diakonia ditentukan keseluruhannya oleh Yesus Kristus  melalui kehidupan, pekerjaan dan perkataanNya.

Tujuan diakonia
Diakonia dipandang sebagai sikap solidaritas yang mendalam terhadap orang lain berdasarkan kasih, berarti diakonia adalah sikap tanpa pamrih, sikap yang menekankan  hidup bersama dengan tidak mencari keuntungan diri sendiri., sehingga tujuan diakonia adalah membantu orang lain dan menempatkannya pada posisi yang benar di hadapan sesama manusia dan Tuhan Allah. Memperdulikan keberadaan umat  manusia secara utuh yaitu kebutuhan rohani, kebutuhan jasmani dan kebutuhan sosial. Diakonia mempunyai fungsi dalam jemaat maupun di dalam masyarakat.

Bentuk-bentuk diakonia
Secara umum ada tiga bentuk dialonia yaitu  : Pertama Diakonia Karikatif, yang mengandung pengertian  perbuatan dorongan  belas kasihan yang bersifat kedermawanan atau pemberian secara sukarela. Motivasi perbuatan karikatif pada dasarnya  bersifat perikemanusiaan naluriah semata sehingga memberikan manfaat secara langsung, dan dapat dilihat secara nyata, seperti memberikan makanan, pakaian, uang  dan produk industri. Kedua Diakonia Reformatif, yang lebih menekankan pembangunan seperti pembangunan pusat kesehatan, penyuluhan, usaha bersama simpan pinjam, dan lain-lain, Analogi orang lapar tidak diberikan makanan tetapi diberikan kail, memberikan kursus keterampilan, pinjman modal sehingga  mampu mandiri. Ketiga Diakonia Transformatif, berarti pelayanan secara multi-dimensional (roh, jiwa dan tubuh), dan juga multi-sektoral (ekonomi,poltik, kultural, dan agama). Gereja lebih menekankan tindakan transformatif yang membawa manusia dengan sistem dan struktur kehidupan yang menghadirkan kehidupan dalam kedatangan Kerajaan Allah. Sehingga menyadarkan manusia untuk terbuka menjalani hidup bukan hanya masalah duniawi semata tetapi sadar akan kehidupan rohani dengan mengenal jalan keselamatan dalam kasih karunia Allah atas penyelamatan Yesus Kristus.

PEMBANGUNAN INDONESIA PINTAR, KERJA DAN SEJAHTERA
Secara riil pemerintah sekarang meluncurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP),Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan bagi masyarakat miskin menerima Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang tadinya dikenal sebagai Kartu Perlindungan Sosial (KPS). Untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan berupa Kartu Jakarta Sehat (KJS), Kartu Jakarta Pintar (KJP). Untuk Kartu Keluarga Sejahtera menggunakan anggaran Rp 6,2 triliun dan setiap keluarga akan mendapatkan Rp 200 ribu per bulan, dan akan diisi setiap bulan.

PEMBANGUNAN MILENIUM
Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals disingkat MDGs) hasil kesepakata 189 negara  anggota PBB  yang mulai dijalankan September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015, Adapaun delapan tujuan tersebut adalah : 1 Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. 2 Mencapai pendidikan dasar untuk semua. 3 Mendorong kesetaraan gender. 4 Menurunkan angka kematian anak. 5 Meningkatkan kesehatan ibu. 6 Menanggulangi HIV/AIDS,malaria,dan penyakit menular lainnya. 7 Memastikan kelestarian lingkungan hidup dan 8 Mengembangan kemitraan global untuk pembangunan.

Kontroversi
Upaya pemerintah Indonesia merelisasikan Tujuan Pembangunan Milenium tahun 2015 akan sulit karena pada saat yang sama pemerintah juga harus menanggung beban pembayaran utang yang sangat besar, sehingga perlu  sebagian utang dikonversikan sebagai bantuan dengan renegosiasi utang.

DIAKONIA DAN PEMBANGUNAN MILENIUM
Diakonia gereja dan warga jemaat, pembangunan Indonesia pintar, kerja dan sejahtera, Pembangunan Milenium dari PBB, seakan-akan berjalan sendiri-sendiri  sehingga hasilnya tidak mencapai sasaran yang diinginkan, oleh karena itu diperlukan sinergi secara nyata baik dalam doa maupun karya nyata. Yang lebih mudah  dilaksanakan adalah langkah gereja mengimplementasikan diakonia karikatif /pemberian sukarela, diakonia reformatif/pembangunan pemberdayaan manusia, dan diokania transformatif /pelayanan multi dimensional baik jasmani  maupun rohani dengan menyatakan kebenaran akan kehadiran Kerajaan Allah di muka bumi ini. Gereja terutama para diaken harus konsisten dalam pelayanan diiringi doa untuk program-program pemerintah dan lembaga-lembaga internasional agar diberkati Tuhan untuk mencapai kesejahteraan umat manusia, karena usaha keras manusia itu untuk mencapai kebijaksanaan Allah meski dinodai dosa manusia.

Tujuan utama  damal sejahtera Allah untuk umat manusia
Kita berjemaat di GKJ Nehemia, kita berprofesi di masyarakat, berpatisipasi dalam  berbangsa dan bernegara dengan segenap talenta yang dikaruniakan Allah pada kita untuk kita persembahkan kepadaNya  sehingga damai sejahteraa Allah untuk umat manusia menjadi nyata. “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita.” (2 Tes 5 : 23) Amin. JS/PI.

Memanusiakan Manusia

Picture
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (Mat.22: 39)

Diakonia
Di dalam bahasa yang dipakai oleh Alkitab Perjanjian Baru ada kata yang berarti melayani atau pelayanan seperti douleuein, leiturgein, latreuein yang masing-masing mempunyai arti khas tersendiri. Kemudian ada kata diakonein (kata kerja) yang artinya melayani, diakonia (kata benda) yang artinya pelayanan dan diakonos yang berarti pelayan.

Arti sesungguhnya dari diakonos adalah pelayanan pada meja makan. Pelayanan seperti itu biasanya dianggap sebagai pekerjaan yang rendah, yang hanya dilakukan oleh para budak saja. Bila suatu saat ada orang kaya yang mengadakan pesta perjamuan maka para budaklah yang melayani di meja makan. Pelayanan seperti itulah yang disebut diakonia.
Bahkan dalam pelayanan itu termasuk membasuh kaki para tamu yang akan duduk makan.
Seperti diketahui bahwa tiga jabatan di gereja yaitu Penatua, Pendeta dan Diaken (TGTL ps.10).
1. Penatua dengan tugas utama mengatur kehidupan gereja.
2. Pendeta dengan tugas utama mengajar dan melayankan sakramen.
3. Diaken dengan tugas utama pelayanan kasih.

Menjadi pejabat gereja artinya dipanggil untuk melayani, oleh karena itu di dalam Perjanjian Baru segala sesuatu yang dilakukan oleh jemaat disebut pelayanan. Pekerjaan para rasul (Kis.1: 7, 23), pemberitaan Firman (Kis.4: 29), pekabar-pekabar Injil seperti Paulus, Timotius, Phebe dll. disebut pelayan Kristus (Rm.1: 1; Flp.1: 1) atau pelayan jemaat (Rm.16: 1; 2 Kor.11: 8). Seyogyanya kata pejabat kita ganti dengan kata pelayan karena lebih tepat sebagai terjemahan dari kata diakonos. Di dalam jemaat tidak ada perbedaan status sosial baik pangkat, jabatan, kaya atau miskin karena semua sama di hadapan Tuhan dan semua anggota jemaat adalah pelayan. Sebagai pelayan maka harus menurut teladan yang telah diberikan Kristus kepada mereka (Yoh.13: 14-15) yang merendahkan diri dan melayani seorang akan yang lain dan bersama-sama melayani Kristus, Tuhan mereka.

Pelayan adalah anugerah
Tidak setiap orang menerima panggilan untuk melayani, hanya Jemaat Kristus saja yang menerima panggilan itu untuk melanjutkan pelayanan Kristus di dunia. Anugerah itu sebenarnya telah dimulai pada panggilan jemaat, tidak berdasarkan atas kebaikan atau kesanggupan dari para anggota jemaat tersebut, tetapi semata-mata atas kemurahan atau anugerah Tuhan. Hal itu dapat kita lihat dalam Perjanjian Baru ketika orang-orang yang dipanggil Tuhan Yesus untuk mengikuti-Nya justru yang menurut ukuran manusia tidaklah layak, seperti para pemungut cukai dan orang-orang berdosa yang lain.

Oleh karena itulah maka panggilan itu ditentang oleh pemimpin-pemimpin agama yaitu para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Mereka tidak mengerti bahwa Tuhan Yesus mau memakai orang-orang yang demikian itu dalam pekerjaan-Nya sementara orang-orang yang dipanggil itupun demikian pula.

Mereka keheranan menghadapi kasih Allah yang begitu besar, karena Kristus telah memanggil mereka. Petrus sendiri berteriak: “Undurlah dari hamba Tuhan, karena hamba adalah orang yang berdosa.” (Luk.5: 8)
Dalam Kisah Para Rasul mereka mempunyai sikap yang positif terhadap panggilan Tuhan yaitu untuk melayani, mereka terima dengan ucapan syukur sebagai penyerahan ke dalam anugerah atau kasih karunia Allah.
“Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih  keras daripada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang  menyertai aku.” (1Kor.15: 10)
Terutama bagi Rasul Paulus yang tidak putus-putusnya memuji anugerah Allah yang ajaib itu karena ia menganiaya jemaat Tuhan, dan oleh karenanya dia merasa tidak layak menjadi pelayan-Nya dan diterima menjadi rasul (1Kor.15: 9, 10).

Keyakinan seperti itulah yang menyebabkan sehingga surat-surat Paulus merupakan anugerah yang mendapat tempat sentral. Baginya bertobat artinya menerima anugerah, dan menerima anugerah artinya dilayakkan untuk turut melayani. Karena itu ia menganggap bahwa bahwa anugerah sama saja dengan pelayanan rasul (Rm.1: 5)
Anugerah kasih karunia itu yang merupakan sumber panggilan dan pelayanannya, oleh karena itu ia selalu mengingatkan pelayan-pelayan yang lain akan anugerah kasih karunia Allah yang telah mereka terima. (2Tim.1: 6) dan menasihatkan agar mereka jangan menyia-nyiakannya (1Tim.4: 14), karena ialah sumber kekuatan dalam pekerjaan mereka (2Tim.2: 1).

Berbagi kasih
Panggilan Tuhan dalam melaksanakan tugas diakonia tidaklah semudah yang kita bayangkan. Banyak hal yang kita temui ketika kita mengajak jemaat untuk berbagi kasih dengan menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk program diakonia. Misalnya jemaat ingin mengetahui dengan jelas tujuan dan sasaran diakonia gereja agar dengan demikian mereka tahu yang sesungguhnya untuk apa dana diakonia tersebut. Dengan demikian maka perlu sosialisasi secara terus-menerus untuk menggerakkan hati mereka dalam berbagi kasih.

Oang kaya sulit masuk Kerajaan Allah karena kekayaannya akan mengikat mereka bahkan lebih mudah bagi seekor unta melalui lubang jarum. “Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi  dan membagi.” (1Tim.6: 18).

Zakheus adalah orang kaya karena ia bekerja sebagai kepala pemungut cukai. Ia tinggal di Yerikho, dan tidak disukai oleh orang banyak karena dia bekerja untuk penjajah dan menindas rakyat dengan menaikkan tarif pajak. Seperti yang kita baca dalam Alkitab bahwa pemungut cukai adalah orang-orang Yahudi yang dimanfaatkan oleh pemerintah Romawi yang menjajah mereka untuk menarik pajak. Para pemungut cukai ini menyerahkan 60% kepada pemerintah Romawi dan 40% untuk dirinya sendiri, tetapi mereka suka menaikkan pajak sehingga keuntungannya bisa berlebih. Begitu bencinya terhadap para pemungut cukai ini sehingga ada seorang Farisi yang berdoa: “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini.” (Luk.18: 11)

Kedudukan Zakheus sebagai kepala pemungut cukai menggambarkan bahwa penghasilannya jauh melebihi para pemungut cukai itu sendiri. Tentu saja tingkat kebencian masyarakat terhadapnya juga lebih tinggi, sehingga tidak ada seorangpun yang menerima dan menghargai dia sehingga merasa terasinglah dia. Yesus ternyata mempunyai sikap yang berbeda dengan masyarakat, ketika Zakheus naik pohon ingin melihat-Nya, Yesus menyapanya bahkan bersedia untuk datang ke rumahnya.

Penerimaan Yesus terhadap Zakheus ini merupakan cinta kasih Allah yang luar biasa bagi manusia yang hidup dalam kemiskinan cinta kasih meski kaya akan materi. Tanggapan Zakheus atas penerimaan Yesus adalah dengan keputusan untuk hidup berbagi, meninggalkan hidup yang mementingkan dirinya sendiri. Ia bahkan bersedia untuk memberikan harta miliknya lebih dari ketentuan yang berlaku yaitu 10% atau perpuluhan, tetapi dia memberikan 50% dari hartanya. Hidupnya menjadi lebih dari biasanya karena rela hidup berbagi dengan masyarakat setempat. Ia akan tetap kaya, namun kekayaannya itu merupakan kekayaan iman, kekayaan surgawi (bandingkan dengan Mat.6: 20) yang sekaligus memutuskan belenggu dari keserakahannya sendiri.

Merendahkan diri
Ketika Tuhan Yesus bersama murid-murid-Nya hendak mengadakan perjamuan Paskah, ada permasalahan yang timbul yakni tidak adanya budak yang bisa disuruh membasuh kaki mereka yang akan mengikuti perjamuan Paskah. Para murid hanya saling memandang, seolah-olah hendak berkata satu dengan yang lain: “Sebaiknya engkaulah yang melakukan itu.”

Namun semuanya enggan, tak ada seorangpun yang mau merendahkan dirinya menggantikan tugas seorang budak. Namun tiba-tiba Tuhan Yesus menanggalkan jubahnya lalu mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, sama seperti yang biasa dilakukan oleh seorang budak yang hendak mencuci kaki orang-orang yang akan mengikuti perjamuan. 

Kemudian Tuhan Yesus menuangkan air ke dalam baskom dan mendekati salah seorang murid-Nya dan berjongkok di hadapannya lalu mencuci kakinya kemudian menyeka dengan kain lenan yang terikat pada pinggang-Nya itu.

Bisa dibayangkan bagaimana reaksi para murid-Nya melihat Tuhan Yesus berbuat demikian, karena apa yang dilakukan-Nya itu ialah diakonia, pekerjaan pelayanan di sekitar meja makan yang biasa dilakukan oleh budak-budak yang rendah. Tetapi baru setelah tiba giliran Petrus untuk dicuci kakinya, maka muncul reaksi keras terhadap Tuhan Yesus. Dari percakapan yang terjadi antara Tuhan Yesus dan Petrus, dapat kita ketahui bahwa perbuatan Tuhan Yesus adalah merupakan simbolis. Perbuatan itu menggambarkan pelayanan Tuhan Yesus yang merendahkan diri-Nya dan nyawa-Nya untuk keselamatan banyak orang.

“Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk  memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mark.10: 45) Tuhan Yesus telah memberikan teladan kepada kita, supaya kita mengikuti teladan Tuhan kita. Sudah tentu tidak dengan cara sungguh-sungguh membasuh kaki satu sama lain, karena membasuh kaki itu adalah tindakan yang simbolis saja, yang menggambarkan diakonia atau pelayanan. Yang lebih penting adalah saling melayani dengan kesediaan untuk merendahkan diri berdasarkan kasih sepenuhnya.

Menghargai dan mengasihi sesama
Kehidupan di dunia ini memang tidak selalu seperti apa yang kita harapkan. Ada orang yang dengan tulus hati menyatakan terima kasih atas pelayanan kita, namun ada juga yang tidak. Kita tidak perlu berkecil hati akan hal tersebut, hal itu justru akan mendorong pelayanan kita menjadi lebih baik terhadap sesama. Kalau Tuhan Yesus saja bersedia merendahkan diri, mengapa kita tidak?

Di dalam kitab Lukas 17 dapat kita baca tentang orang-orang yang menderita penyakit kusta. Penyakit kusta bukan hanya penyakit tubuh saja, tetapi oleh orang Yahudi penyakit itu dipandang sebagai tanda kutukan dari Allah sehingga siapapun yang terkena penyakit itu disebut najis. Para penderita ini akan dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat bahkan oleh keluarga mereka sendiri. Mereka diasingkan dan disatukan dalam kemah-kemah yang dilokalisir di suatu lembah yang jauh dari pemukiman penduduk, dekat dengan pembuangan sampah. Mereka tidak diperkenankan bergaul dengan masyarakat umum, tidak mendapat perawatan dan dikirim makan dengan tali timba yang dijulurkan ke lembah agar mereka tetap hidup. Mereka tidak diperlakukan sebagai manusia, harkat dan martabat mereka disangkal sehingga mereka tidak lagi hidup sebagai manusia umumnya. Penderitaannya secara fisik masih diperberat lagi dengan rasa rendah diri, frustrasi dan putus asa.

Oleh karena itu kalau sampai ada orang sakit kusta bisa sembuh, sesungguhnya merupakan mujizat dan anugerah. “Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal  berdiri agak jauh dan berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami.” Lalu Ia memandang mereka  dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Dan sementara mereka di  tengah jalan mereka menjadi tahir. Seorang dari mereka,  ketika melihat bahwa ia telah  sembuh, kembali sambil memuliakan Tuhan dengan suara nyaring. Lalu tersungkur di depan  kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria.”  (Luk.17: 12-16). Setelah mereka membuktikan akan kesembuhan diri mereka dan menjalani upacara pentahiran, maka imam mengumumkan pentahiran mereka dan diterima kembali menjadi manusia seutuhnya dengan hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan masyarakat. Pada masa Perjanjian Baru, orang Samaria masih beribadah pada bukit-bukit penyembahan, sementara itu orang Yahudi memusatkan ibadah mereka di Bait Allah di Yerusalem. 

Berdasarkan hal tersebut orang yahudi tidak mau bergaul dengan orang Samaria karena dianggap cacat rohani, sesat bahkan kafir. Orang-orang Yahudi tinggal di Galilea, tepat di sebelah utara Samaria, dan jika akan bepergian ke Yerusalem di sebelah Selatan memilih jalan memutar melewati seberang Yordan agar tidak menginjak wilayah Samaria. Lembah tempat penampungan orang-orang kusta berada di perbatasan Samaria. Di wilayah Yahudi status orang Samaria sangat tidak nyaman karena menjadi orang buangan dan dianggap sebagai masyarakat yanglebih rendah derajatnya. Sikap orang Yahudi terhadap orang Samaria itu dikritik oleh Lukas, bahkan oleh Yesus sendiri. Diakonia harus menyertakan aspek pemulihan akan harkat dan martabat manusia. Mereka yang terbuang tidak boleh tinggal terbuang setelah mendapat pelayanan diakonia. Pelayanan diakonia harus menghilangkan istilah yang memberi dan yang menerima, karena seorang diakonos  tidak lebih tinggi dari mereka yang dibantu. Pelayanan diakonia tidak boleh menghindari kaum Samaria, karena sesungguhnya mereka adalah sesama manusia yang harus dimanusiakan.  *dari berbagai sumber. Ode Pamungkas.

Renungan - Diakonia

Picture
DIAKONIA berasal dari bahasa Yunani yang berarti pelayan. Pada mulanya pelayan yang dimaksudkan adalah pelayan meja (makan). Sejak jaman dahulu hingga sekarang di berbagai Negara atau bahkan budaya di beberapa suku bangsa, apabila ada keluarga sedang makan bersama di meja makan, ada pelayan yang berdiri di samping yang harus selalu siap melayani. Pelayanan seperti itulah yang semula dimaksudkan dengan kata ini. Sedangkan orang yang melayani disebut diakonos.

Namun demikian dalam agama-agama tertentu di jaman Helenisme,  yang dimaksudkan dengan diakonos adalah petugas ibadah yang melayani peribadahan di kuil-kuil. Mereka melakukan pelayanan dalam peribadahan agama-agama tertentu.
 
Di dalam Perjanjian Baru, diakonia dalam pengertian pelayanan (mejamakan) masih digunakan misalnya ketika Tuhan Yesus berada di rumah Maria dan Marthad alam Lukas 10: 38-42. Martha disebut diakonos. Dia menempatkan diri sebagai pelayan meja. Dalam pengertian itulah kedatangan Tuhan Yesus di dunia ini, yaitu melayani dan benar-benar sebagai pelayan.
 
Dalam surat-suratnya Rasul Paulus memperluas pengertian kata diakonia dan mengaitkannya dengan pekabaran Injil. Paulus menekankan pengertian bahwa dirinya adalah pelayan Injil, pelayan Kristus (Kol 1: 7) dan pelayan jemaat (Kol. 1:23, 25). Dengan demikian kata diakonia memperoleh pengertian yang lebih luas dalam rangka pekabaran Injil dan penggembalaan jemaat.
 
Pengertian diakonia kemudian dikhususkan dalam pengertian pelayanan gereja kepada orang-orang yang terpinggirkan. Di jaman Alkitab, ada kelompok masyarakat yang harus mendapat pemeliharaan yaitu janda dan anak yatim. Paulus dalam suratnya kepada Timotius (1 Tim 5: 3-16) secara khusus menegaskan pentingnnya pemeliharaan oleh jemaat terhadap “janda yang benar-benar janda”. Yang dimaksud dengan janda yang benar-benar janda adalah janda yang hidupnya sebatang kara dan usianya tidak kurang dari 60 (enam puluh) tahun. Mereka itulah yang harus dipelihara oleh jemaat dalam pelaksanaan tugas diakonia. Itu sebabnya gereja-gereja banyak yang memiliki “rumah jompo”. 
 
Rasul Paulus mensyaratkan seorang diakonos atau diaken dalam kehidupan bergereja dalam 1 Timotius 3: 12 “Diaken haruslah seorang suami dari satu isteri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik”. Persyaratan itu begitiu pentingnya karena mereka itulah yang harus merawat dan memelihara orang-orang yang harus dipelihara oleh gereja. Karena begitu pentingnya tugas diakonia itu maka gereja-gereja merumuskannya dalam tugas dan panggilannya sejajar dengan bersaksi (marturia)  dan bersekutu (koinonia), yang dikenal dengan tri-tugas gereja.
 
Gereja Kristen Jawa menggunakan rumusan tri-tugas gereja itu dalam kehidupannya sebelum dirumuskan ulang dalam Pokok-Pokok Ajaran GKJ. Dalam PPA, GKJ merumuskan tugas gereja menjadi dwitugas gereja, yaitu keluar memberitakan Injil dan kedalam memelihara iman warga jemaat. Lalu di mana diakonia? Baik keluar maupun kedalam diakonia merupakan suatu tugas yang melekat. Diakonia yang dimengerti sebagai pelayanan gereja harus dilakukan tidak saja dalam bentuk merawat dan memelihara warga gereja yang “sekeng” atau berkekurangan, tetapi juga keluar, mengambil bagian dalam program “pengentasan kemiskinan” dengan berbagai bentuknya.
 
Dalam melakukan tugas diakonia itu ada dua rumusan yang sering dikemukakan para ahli yaitu diakonia yang bersifat kharitatif dalam arti aksi pelayanan sesaat dan diakonia transformatif dalam arti aksi pelayanan berkelanjutan dan bersifat membangun kesadaran untuk membenahi diri. Dua sifat diakonia itu bisa dilakukan baik di dalam gereja maupun keluar. Banyak orang Kristen (untuk membedakannya dengan gereja sebagai institusi) membentuk yayasan-yayasan atau badan-badan social untuk melakukan karya social, membangun masyarakat, membangun ekonomi kerakyatan sebagai bentuk pelaksanaan tugas gerejawi, yaitu diakonia.
 
Jadi apakah diakonia hanya merupakan tugas dan panggilan gereja sebagai institusi? Tentu saja tidak! Semua orang percaya mendapat tugas dan panggilan gerejawi, di antaranya diakonia. Bahkan tugas panggilan bersaksi (marturia) dan bersekutu (koinonia) juga melekat pada diri setiap orang percaya.
Pelaksanaan tugas diakonia baik oleh gereja sebagai institusi maupun oleh pribadi-pribadi orang percaya tidak boleh diselewengkan sebagai bentuk lain dari “membujuk orang lain untuk menjadi warga gereja”, atau mengandung maksud agar orang-orang tidak mengganggu gereja. Tidak! Diakonia sebagai pelayanan harus dilandasi dengan oleh kasih sebagai Tuhan telah mengasihi manusia, kasih yang tulus.  Diakonia gereja bersumber dari Tuhan Yesus sendiri yang datang kedunia untuk melayani jemaat-Nya.  Itulah kasih Allah, Bapa yang Maha kasih. (45-nosk)-


Kunjungan Persahabatan ke GPIB Jemaat Zebaoth

Picture
Pada hari Minggu, 29 Mei 2016, PS. Wilayah Tebet berbagi pelayanan ke GPIB Zebaoth di Bogor dengan mengisi pujian dalam liturgi kebaktian pukul 09.00 pagi. Rombongan berangkat bersama pukul 07.00 dengan bus kecil dari kampus UKI Cawang ke Bogor sampai ditujuan pukul 08.00. GPIB Zebaoth terletak di dalam lingkungan Istana Negara, di sebelah pintu masuk yang biasa digunakan oleh Presiden Jokowi.

Gereja ini bagian dari Istana Bogor yang dulunya digunakan oleh Belanda untuk kebaktian warganya. PS. Tebet membawakan 2 (dua) lagu, yang pertama: "Bapa, Engkau sungguh baik" dinyanyikan sebelum khotbah dan lagu meddley "O Happy day - I Follow Him" setelah khotbah. Rombongan terdiri dari para Adiyuswa sampai dengan anak Sekolah Minggu : + 40 orang, dan membawa peralatan musik yang cukup memadahi. Sambutan sangat baik diberikan oleh Majelis dan jemaatnya. Bersamaan dengan PS. Tebet, kelompok lain yang ikut mengisi pujian adalah : anak-anak TK Penabur Sentul dan PS. Persekutuan Kaum Lanjut Usia (PKLU) serta Kulintang GPIB Zebaoth yang sekaligus sebagai pemandu lagu. Kebetulan saat itu juga sedang memperingati Hari Lansia Nasional ke XX.

Sehabis ibadah, dijamu dengan ramah tamah dan makan siang bersama serta diadakan sharing. Ternyata GPIB Zebaoth ini banyak warga "jawa"-nya termasuk pendeta yang melayani ibadah pukul 09.00 ini. Kenapa begitu, karna waktu itu banyak orang kristen jawa dari Jawa Tengah dan Timur, yang tinggal di Bogor, waktu itu belum ada gereja jawa, sehingga pilihannya ke GPIB. Mereka juga mempunyai komunitas orang-orang jawa GPIB yang secara rutin ada pertemuan dan persekutuan. Perlu diketahui juga bahwa GPIB Zebaoth ini mempunyai + 1.700 KK dengan jumlah Majelis > 100 orang dan wilayah pelayanan seluruh Bogor (Kota dan Kabupaten) dan sekitarnya.

Kiranya kunjungan ini menjadikan GKJ Nehemia lebih dikenal di gereja lain dan persahabatan ini bisa berlanjut diwaktu mendatang. Salam dari Majelis GPIB Zebaoth kepada Jemaat dan Majelis GKJ Nehemia.

Nyebar Katentreman

Picture
Kalimat tersebut diatas merupakan tema peringatan Hari Lansia Nasional 2016 dan peringatan Pentakosta yang diselenggarakan oleh Paguyuban Adiyuswa se Sinode Gereja Kristen Jawa pada tanggal 28 Mei 2016 bertempat di Lapangan Kujon-Borobudur-Magelang. Peringatan dengan tema "Nyebar Katentreman" ini diharapkan agar para Adiyuswa bisa membawa damai (katentreman) di lingkungan masing-masing yang pada gilirannya akan berdampak bagi bangsa ini bisa hidup rukun dan saling menghargai walau berbeda suku, golongan dan agama,

Hari Lansia Nasional yang tepatnya pada tanggal 29 Mei, maka paguyuban Adiyuswa Sinode GKJ melaksanakan peringatayan setiap 2 (dua) tahun. Sebagai pelaksana (panitia) oleh Gereja pada Klasis tertentu. Untuk penyelenggaraan Hari Lansia Nasional tahun ini sebagai panitia pelaksana adalah Klasis Magelang yang beranggotakan 11 Gereja dan 15 Pepanthan. Selanjutnya dalam peringatan ini Forum Komunikasi Adiyuswa Klasis Jakarta Bagian Barat yang beranggotakan 9 Gereja hadir secara bersama-sama dengan menggunakan 7 bus dengan jumlah peserta yang tercatat kepada panitia sebanyak 294 orang sedangkan untuk warga Adiyuswa GKJ Nehemia tercatat 57 orang, sehingga sebagian peserta digabung dengan bus yang pesertanya dari GKJ Kanaan. Dalam rangka mengikuti acara Hari Lansia Nasional 2016 dan Pentakosta dilaksanakan selama 3 (tiga) hari dari pada tanggal 27 s.d. 29 Mei 2016.

Hari Jumat, tanggal 27 Mei 2016, saat perjalanan berangkat dari Jakarta menuju ke Atria Hotel-Magelang. Rombongan yang berangkat dari halaman gedung GKJ Nehemia ada 3 bus, yaitu bus peserta dari GKJ Nehemia, GKJ Kanaan dan GKJ Tangerang. Bus berangkat tepat pukul 06.00 WIB, perjalanan menuju KM. 57 (rest area tol Cikampek sebagai tempat seluruh bus berkumpul) yang diharapkan tiba jam 07.30 WIB namun baru tiba jam 08.30 WIB sehingga pada pukul 09.00 WIB seluruh bus baru berangkat bersama-sama, melalui jalur : Jakarta-Ajibarang-Kebumen-Purworejo-Magelang. Walaupun dalam perjalanan terkadang macet dan sering istirahat serta makan siang di RM Pring Sewu - Gronggong-Cilimus, seluruh rombongan tiba di hotel pukul 21.00 WIB, rombongan langsungmakan malam, usai makan malan rombongan kamar yang telah ditentukan dalam kondisi sehat.

Hari Sabtu, tanggal 28 Mei 2016, saat pelaksanaan peringatan Hari Lansia Nasional 2016 dan Pentakosta. Seluruh peserta adiyuswa anggota Forum Komunikasi Adiyuswa setelah makan pagi langsung bersiap menuju ke masing-masing bus. Rombongan berangkat pada pukul 08.00 WIB, jarak tempuh dari Hotel Atria menuju lokasi yaitu Lapangan Kujon-Borobudur hanya + 10 Km, perjalanan menuju lokasi agak tersendat menjelang lokasi acara karena rombongan dari Gereja lain sebagian sudah hadir yang pada umumnya menggunakan bus besar dan sedang. Sungguh bersyukur, rombongan bus rombongan dari GKJ Nehemia bisa berhenti menurunkan peserta tidak jauh dari pintu masuk lapangan.

Tempat acaranya sendiri lapangannya cukup luas dan terpasang tenda baik untuk panggung acara dan tempat duduk peserta yang dibagi dalam blok, untuk peserta adiyuswa anggota FKA menempati pada blok G bersama-sama dengan adiyuswa dari GKJ Klasis Yogyakarta dan GKJ Klasis Klaten Barat. Acara peringatan Hari Lansia Nasional dan Pentokosta dihadiri oleh Gubernur Jawa Tengah, Pangdam Diponegoro serta Muspida setempat serta tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat.

Pada pukul 10.00 WIB acara mulai diawali dengan penampilan tarian tradisional oleh warga Jemaat GKJ Kenalan, dilanjutkan dengan laporan panitia yang menyebutkan bahwa peserta yang hadir mencapai 15.000 orang namun kenyataannya mencapai 16.000 orang sehingga secara spontan menambah 1000 kursi, kemudian acara sambutan Gubernur Jawa Tengah. Dalam sambutannya Gubernur menyampaikan rasa terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk bisa hadir dalam acara peringatan Hari Lansia Nasional dan Pentokosta yang menurutnya sebagai acara Nasional yang pertama kali di Indonesia. Selain itu Gubernur juga mengharapkan agar para adiyuswa yang hadir untuk ikut berperan aktif mengawasi dan membimbing para anak dan cucunya dalam hal penggunaan narkoba dan terjadi kekerasan terhadap anak yang saat ini sedang marak terjadi di berbagai daerah. Sebagai puncak peringatan Hari Lansia Nasional 2016 adalan penyerahan burung Merpati sebagai lambang perdamaian kepada Gubernur dilanjutkan dengan pelepasan. Ikut hadir dalam pelepasan ini adalah wakil tokoh agama dan aliran kepercayaan, wakil dan MUI dan Muspida.

Setelah puncak peringatan Hari Lansia Nasional 2016 selesai, acara dilanjutkan dengan Ibadah peringatan Pentokosta. Dalam ibadah Pentakosta dipimpin oleh Pdt. DR. Budianto dari Universitas Kristen Duta Wacana, dengan menggunakan liturgi berbahasa Jawa dan diiringi musik gamelan. Dalam peringatan Hari Lansia Nasional dan Pentakosta ini juga ada acara Ikrar Adiyuswa Se Sinode Gereja Kristen Jawa, sebagai berikut : - Menjunjung tinggi NKRI sebagai harga mati
- Mendukung Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar Negara
- Menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan dengan keutuhan bangsa
- Mendukung pemberantasan korupsi dan penggunaan narkoba
- Tetap semangat melayani, tetap berguna dan selalu bahagia.

Pada pukul 13.15 WIB acara ibadah selesai dan sebagai acara penutup seluruh acara ini adalah hiburan "Den Baguse Ngarso", namun saat penampilan acara ini sebagaian peserta sudah mulai berdiri dan meninggalkan kursi masing-masing untuk keluar lapangan menuju bus-bus masing2. Hal ini mengingat terbatasnya tempat parkir, khususnya untuk rombongan yang membawa bus besar dan sedang, sehingga saat itu bus rombongan dari FKA tempat parkirnya lumayan jauh walaupun ada beberapa bus dari peserta gereja lainnya masih ada yang lebih jauh lagi. Dalam perjalanan dari lapangan menuju bus, sempat ada beberapa rombongan yang tidak mengetahui tempat parkir bus, namun dengan susah dan lelah karena jalan akhir ketemu juga sekitar pukul 14.30 WIB bus sudah mulai berjalan meninggalkan tempat acara menuju ke tempat penjualan oleh-oleh. Pada mulanya panitia telah menetapkan bahwa setelah menghadiri acara peringatan Hari Lansia Nasional dan Pentakosta rombongan akan rekreasi ke Ketep Pass, namun berdasarkan informasi bahwa perjalanan menuju Ketep Pass saat itu sedang dalam perbaikan, sehingga acara rekreasi dibatalkan dan sebagai konsekwensi dana rekreasi dikembalikan, namun untuk adiyuswa GKJ Nehemia bahwa dana tersebut diserahkan kepada Panitia sebagai tambahan dana peduli kasih sebesar Rp. 1.500.000,- yang diberikan kepada Lembaga Pelayanan Kristen di Magelang.

Sesuai kesepakatan karena pada malam harinya ada Ibadah maka seluruh rombongan sudah kembali ke hotel pada pukul 18.00 WIB. Selanjutnya malam hari setelah makan malam diadakan Ibadah malam yang dipimpin oleh Pdt. Emt. Djoko Sulistyo dari GKJ Eben Haezer bertempat di auditorium lantai 2 Hotel Atria.Sesuai program acara bahwa hasil persembahan pada Ibadah malam dan kebaktian Minggu diserahkan kepada Lembaga Pelayanan Kristen di Magelang. Setelah ibadah selesai para peserta kembali ke kamar untuk istirahat.

Hari Minggu, tanggal 29 Mei 2016 Seluruh rombongan pada pukul 06.00-07.30 WIB makan pagi, kemudian pada pukul 08.00 WIB dilaksanakan Ibadah Minggu yang dipimpin oleh Pdt. Marya Sri Hartati dari GKJ Joglo bertempat di auditorium hotel Atria. Setelah ibadah selesai acara dilanjutkan dengan penyerahan dana peduli kasih diserahkan oleh Bpk. Bambang Sumantri - Ketua Panitia selaku Ketua Forum Komunikasi Adiyuswa kepada Ibu Rini Wahyu D. Karaeng - Ketua Lembaga Pelayanan Kristen Magelang sebesar Rp. 11.325.000,-.Setelah seluruh acara selesai, rombongan mempersiapkan barang bawaannya ke bus masing-masing. Pada pukul 10.30 WIB seluruh bus sudah meninggalkan hotel untuk kembali ke Jakarta melalui jalur : Magelang-Ambarawa-Bawen-Semarang-Tegal-Jakarta. Sebagai tempat makan siang berada di Rumah Makan Jawa Timur yang ada di jalan lingkar luar Kendal. Sedangkan makan malam dalam bentuk boks di Pring Sewu-Gronggong-Cilimus-Jawa Barat. Dalam perjalanan pulang ada beberapa peserta yang tidak ikutserta sampai Jakarta karena ada keperluan keluarga. Bus rombongan adiyuswa GKJ Nehemia tiba pada pukul 01.00 WIB. Kami sungguh bersyukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena hanya berkat pertolongan dan bimbinganNYA seluruh rombongan senantiasa dalam kondisi sehat.

Sebagai kata akhir, kami atasnama pengurus Komisi Adiyuswa sungguh mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh anggota adiyuswa atas doa dan partisipasinya, ucapan terima kasih kami juga kepada Majelis GKJ Nehemia, serta kami mohon maaf atas segala kekurangan dan keterbatasan kami sehingga ada yang tidak berkenan dihati adiyuswa. Semoga pada acara Hari Lansia Nasional berikutnya adiyuswa GKJ Nehemia tetap bisa berpartisipasi, sampai jumpa kembali. Tuhan Yesus memberkati kita semua, Amin. Pengurus Komisi Adiyuswa

Suksesi di Mataram bagian 2

Picture
Pesan terakhir Panembahan Senopati pada masa kritis karena penyakitnya adalah: “Paman Mandaraka, kelak kalau saya dipanggil ke hadapan Allah yang saya beri wewenang menjadi raja di Mataram adalah anak saya bernama Jolang. Meskipun masih muda, dialah yang akan menurunkan benih-benih raja di Mataram. Bila anak-anak saya yang lain tidak mengindahkan pesan saya ini, biarlah terkena kutukan dari Allah. Paman dan Adi Mangkubumi yang kami minta untuk melantiknya.”

Pangeran Hanyakrawati (1601 – 1613)
Raden Mas Jolang adalah putra Panembahan Senopati dengan Ratu Mas Waskitajawi putri Ki Ageng Penjawi (Adipati Pati). Panembahan Senopati dan Ki Penjawi masih saudara sepupu karena sama-sama cucu Ki Ageng Sela. Setelah Mas Jolang menjadi Adipati Anom (Putra Mahkota), menikah dengan Ratu Tulungayu putri dari Ponorogo. Mas Jolang sudah berjanji apabila kelak menjadi raja maka kedudukannya akan diserahkan kepada putra yang dilahirkan Ratu Tulungayu. Namun karena sampai sedemikian lama Putri Tulungayu tidak juga hamil, Mas Jolang menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa Raja Pajang (cucu Jaka Tingkir) dan melahirkan dua orang anak yaitu Raden Mas Rangsang dan Ratu Pandansari.

Sebelum naik tahta Mas Jolang pernah berjasa pada kerajaan dengan menghadapi pamannya sendiri dari pihak ibu yaitu Adipati Pragola dari Pati yang mberontak terhadap Panembahan Senopati karena kawin lagi dengan Retno Dumilah putri Madiun sebagai Permaisuri kedua. Adipati Pragola marah karena kawatir kedudukan kakaknya (Ratu Mas Waskitajawi) terancam. Adipati Pragola yang sakti tidak dapat dikalahkan oleh Mas Jolang bahkan Mas Jolang terluka parah. Pemberontakan itu akhirnya dapat dipadamkan oleh Panembahan Senopati sendiri.Bertepatan dengan hari Soma atau Senin, Adipati Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi keluar ke siti hinggil menggandeng Pangeran Adipati Anom. Pangeran Adipati anom didudukkan di dhampar kencana atau singgasana emas sementara Adipati Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi mengapit di kanan dan kiri. Kemudian Pangeran Mangkubumi membacakan pengumuman.
“Semua orang Mataram, kalian akan menjadi saksi bahwa Pangeran Adipati Anom hari ini  ditetapkan menjadi sultan menggantikan ayahandanya. Kalau ada yang tidak mengindahkan,  sayalah lawannya.”
Semua yang hadir baik para sentana, menteri dan bupati mendukung Sang Prabu. Raden Mas Jolang dinobatkan sebagai Raja Mataram kedua dan diberi gelar Panembahan Hanyakrawati.

Pangeran Puger
Pangeran Puger adalah putra Panembahan Senopati yang lahir dari selir bernama Nyai Adisara. Karena putra pertama Panembahan Senopati yang bernama Raden Rangga (lahir dari Rara Semangkin) telah lama meninggal, membuat Pangeran Puger menjadi putra tertua dan merasa lebih berhak atas tahta kesultanan Mataram daripada Mas Jolang. Pangeran Puger merasa sakit hati dan tidak mau menghadap dalam pisowanan agung atau persidangan kerajaan. Panembahan Hanyakrawati menyadari akan hal tersebut dan dalam pisowanan agung itu Panembahan Hanyakrawati memohon pertimbangan kepada Adipati Mandaraka.
“Eyang Adipati, bagaimana pendapat Eyang mengenai Kang Mas Puger. Hati saya tidak enak  jika beliau masih berada di Mataram. Bagaimana kalau saya angkat menjadi Bupati Demak?”
Adipati Mandaraka dan para kerabat kerajaan menyetujui kehendak Sang Panembahan karena dengan adanya Bupati Demak maka akan menjadi beteng batas negara Mataram. Panembahan Hanyakrawati segera mengirim utusan untuk memanggil Pangeran Puger agar hadir di keraton. Setelah Pangeran Puger datang, dipersilakan duduk sejajar dengan sang Raja.
“Kang Mas Puger, Kakang saya angkat menjadi Bupati Demak, berbahagialah disana dengan para kawula kadipaten. Dan jadilah beteng untuk ikut menjaga kerajaan Mataram.”
Pangeran Puger mengucapkan terima kasih atas pengangkatannya itu dan keesokan harinya berangkat bersama isteri dan putranya menuju Demak dan disambut dengan penghormatan dan sukacita oleh warga kadipaten Demak. Adalah Adipati Gending bawahan Pangeran Puger yang mengingatkan bahwa beliau adalah putera sulung Panembahan Senopati yang mestinya berhak menduduki tahta kerajaan. Atas hasutan Adipati Gending itu maka Pangeran Puger lupa bahwa Demak adalah bawahan Mataram, dan berniat memberontak untuk merebut waris tahta kerajaan. Kemudian pada tahun 1602 Pangeran Puger memerintahkan para prajuritnya untuk menguasai tanah Jawa di sebelah utara Gunung Kendeng dan semakin percaya diri ketika bisa menundukkannya.

Pangeran Puger memimpin langsung penyerbuan ke Mataram didampingi andalannya,  Adipati Gending dan Adipati Panjer dengan prajurit yang tak terhitung jumlahnya. Sepanjang jalan mereka menjarah rayah harta benda penduduk dan memboyong perempuan-perempuan mereka. Adipati Pajang yang mendapat laporan tersebut segera menghadap Sang Panembahan ke Mataram bahwa Pangeran Puger dan pasukannya berniat menggempur Mataram dan sekarang berkemah di daerah Tambak Uwas. Mendengar itu Panembahan Hanyakrawati dengan perasaan sedih dan sangat terpaksa memimpin sendiri pasukannya untuk menghadang pasukan Demak. Di Tambak Uwas pasukan Mataram dan pasukan Demak saling berhadap-hadapan dan terjadilah perang yang sangat dahsyat dengan korban yang tak tehitung jumlahnya. Lama-lama prajurit Demak terdesak mundur karena Adipati Gending dan Adipati Panjer tewas serta Pangeran Puger tertangkap di tengah medan pertempuran. Pangeran puger kemudian diikat dan dipikul dengan tandu menuju Mataram, sementara sisa-sisa laskar Demak melarikan diri.

Akhirnya pada tahun 1607 pangeran Puger diasingkan ke Kudus dengan seluruh anak-isterinya tanpa disertai teman dalam keadaan yang menyedihkan. Kemudian Panembahan Hanyakrawati mengangkat abdinya Lurah Ganjur Ki Gede Mestaka menjadi bupati Demak dengan gelar Tumenggung Endranata sedangkan adiknya sendiri Pangeran Jayaraga diangkat menjadi Bupati Ponorogo.

Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Pangeran Puger, pada tahun 1607 terjadi pemberontakan oleh adiknya sendiri, Pangeran Jayaraga yang menjadi Bupati Ponorogo. Pemberontakan ini dipadamkan oleh adiknya yang lain yaitu Raden Mas Julik atau Pangeran Pringgalaya putra Retno Dumilah.
Berbeda dengan sang Pangeran Jayaraga, para bupati bawahannya justru bergabung dengan Mataram seperti Panji Wirabumi, Ngabehi Malang dan Demang Nayahita. Panembahan Hanyakrawati kemudian mengutus Pangeran Pringgalaya dan Tumenggung Mertalaya dibantu para bupati yang mbalela mengakhiri pemberontakan di Ponorogo. Pangeran Jayaraga akhirnya di asingkan ke Masjid Watu di Nusa Kambangan.

Kedua pemberontakan yang terjadi dan dilakukan oleh saudara sendiri mengindikasikan bahwa konflik suksesi di Mataram sangat kuat. Konflik tersebut berasal dari rasa tidak puas di kalangan pangeran muda terhadap keputusan Panembahan Senopati yang memilih mas Jolang sebagai penggantinya. Dan itu berakibat penolakan dan juga permusuhan dari saudaranya sendiri.

Sebenarnya lawan yang paling berat adalah Kadipaten Surabaya, karena Kadipaten Surabaya telah berhasil menguasai wilayah Kadipaten Pasuruan dan Blambangan untuk mencegah Mataram ngelar jajahan ke ujung timur pulau Jawa. Adipati Surabaya juga telah memperluas wilayah ekonominya meliputi Pulau Bawean, Sikadana (Kalimantan Barat), Banjarmasin, Gresik, Lamongan, Tuban dan Demak untuk menutup jalur perdagangan Mataram. Apalagi Adipati Surabaya juga dibantu oleh para Adipati keturunan Majapahit dan merupakan trah Brawijaya.

Pada tahun 1609 Mataram mencoba untuk menyerang diperbatasan sebelah barat Surabaya untuk mengukur seberapa jauh kekuatan Surabaya. Pada tahun 1612 Adipati Mertalaya memimpin prajurit Mataram untuk menyerang Lamongan. Pada tahun 1613 kembali Adipati Mertalaya memimpin prajurit Mataram untuk menyerang Gresik yang berakibat daerah Tuban dan Pati takluk. Wilayah Surabaya yang dilindungi rawa-rawa dan hutan lebat serta bekas beteng pertahanan Majapahit membuat Mataram mengurungkan niatnya untuk menyerang Surabaya, namun perekonomian melemah karena daerah-daerah penghasil lumbung padinya dikuasai Mataram.

Wafatnya Panembahan Hanyakrawati
Panembahan Hanyakrawati wafat pada tahun 1613 karena kecelakaan sewaktu berburu kijang di hutan Krapyak. Oleh karena itu beliau terkenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak. Menurut salah satu sumber, Pangeran Hanyakrawati wafat secara misterius pada malam Jumat 1 Oktober 1613 (Babad Sengkala, 1535 Jawa). Penyebab kematiannya sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti, hanya disebutkan bahwa Panembahan Hanyakrawati meninggal karena kecelakaan saat berburu kijang di hutan Krapyak. Namun menurut Babad Tanah Jawi, Panembahan Hanyakrawati meninggal karena sakit parah tanpa kejelasan jenis penyakitnya. Sumber lain ialah Babad Mataram mengisahkan bahwaPanembahan Hanyakrawati meninggal karena diracun oleh Juru Taman Danalaya, abdi kesangannya sendiri. Juru Taman Danalaya sering membuat ulah dan membuat onar di lingkungan Keraton karena sering menyamar sebagai Sang Panembahan, sehingga menyesatkan para isteri dan selir Raja. *sumber babad tanah jawi. Oka Respati.

Bahasa Jawa - Mbangun Jati Dhiri (bagian 4)

(Andreas Hutomo)
  • Sabar drana – Penuh kesabaran
    Ajaran tentang kemampuan mengendalikan diri dalam menghadapi harapan dan kenyataan. Kadang-kadang apa yang dicita-citakan tidak langsung tercapai, tetapi tertunda. Bahkan tujuan luhur pun kadang meleset karena sesuatu hal yang tak terduga. Orang Jawa sangat menghargai seseorang yang bisa mengendalikan hawa nafsu dan diredam dalam kesabaran. Meski ada hal yang tidak cocok namun dipendam dalam hati sehingga orang lain tidak perlu tahu.
  • Sareh pikoleh – Sabar dan penuh kehati-hatian akan membuahkan hasil
    Orang yang sabar dan penuh kelembutan serta kehati-hatian dalam menghadapi segala persoalan akan memperoleh hasil yang baik. Kesabaran harus dilatih secara terus menerus sampai mengendap sehingga mudah dikendalikan, tidak grusa-grusu.
  • Sapa sing cidra ing janji bakal kaweleh – Siapa yang ingkar janji akan ketahuan juga
    Ingkar janji adalah perbuatan yang tidak terpuji, oleh karena itu apabila mempunyai janji harus ditepati. Orang yang suka ingkar janji pasti tidak akan kehilangan kepercayaan dari orang lain.
  • Setia budya pangekese dur angkara – Setia pada darma, menghindari sifat angkara
    Ajaran dari Mangkunegara IV Surakarta Hadiningrat menyebutkan kesetiaan pada laku bijak akan menghindarkan manusia dari keinginan angkara murka.
  • Tiyang mlampah sangunipun niyat lan tekad – Orang berjalan berbekal niat dan tekad
    Tanpa niat berarti tidak mempunyai tujuan yang jelas dan tanpa tekad berarti tidak mempunyai kemauan. Oleh karena itu orang yang ingin menggapai cita-cita harus mempunyai niat dan tekad.
  • Tumindak kudu manut kala mangsa – Berbuat sesuatu harus mempertimbangkan suasana dan waktu
    Situasi dan kondisi sangat berpengaruh terhadap suatu tujuan, terutama dalam upaya memecahkan suatu masalah.
  • Tumindak iku kanthi duga lan prayoga – Tindakan dilakukan dengan pertimbangan yang masak
    Sebelum bertindak haruslah dipertimbangkan terlebih dahulu apakah tindakannya itu akan menuai hasil yang baik atau justru menimbulkan persoalan. Kalau sekiranya akan menimbulkan persoalan lebih baik tidak perlu dilakukan.
  •  Sepi ing pamrih – Tidak mengharapkan segala-sesuatu sebagai imbalan  
    Seseorang yang menjalankan tugasnya dengan ikhlas, apapun yang dilakukannya akan menjadi ringan. Jika usahanya berhasil dia akan bersikap wajar, dan bila gagal dia tidak akan mengeluh.
  •  Sing ngidul-ngidula, sing ngalor-ngalora – Yang mau ke selatan silakan ke selatan, yang mau ke utara silakan ke utara
    Kearifan dalam melihat sesuatu yang dikerjakan orang lain dengan tidak ikut campur. Orang lain diberikan kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.
  • Sruning brata kataman wahyu jatmika – Kuatnya bertapa mendapat wahyu keagungan
    Orang yang tabah dan ulet dalam menggapai cita-citanya akhirnya akan kesampaian juga sesuai apa yang diharapkannya.
  • Trimah mawi pasrah – Menerima dengan pasrah
    Orang hidup tidak hnya menerima berkat dengan begitu saja, tetapi juga harus disertai rasa syukur dan kepasarahan. Percayalah bahwa semua itu ada yang mengatur, yaitu Tuhan Yang Mahaadil. Menerima segalanya dengan pasrah akan membuat hidup lebih tenteram.
  • Wani ngalah dhuwur wekasane – Berani mengalah akan dihormati
    Ngalah bukan berarti kalah, tetapi merupakan upaya untuk membuat senang hati orang lain. Orang yang suka mengalah berarti bisa menjaga perasaan orang lain sehingga tidak menjadi tersinggung. Untuk bisa mengalah orang harus berusaha untuk menyingkirkan rasa egoismenya.
  • Yen ana madu kaworan wisa kudu dilimbang – Kalau ada madu tercampur racun harus dipilah atau disaring.
    Meski ajaran yang baik itu berasal dari orang kebanyakan dan bukan ahlinya, tetap harus kita terima dengan baik pula. Bahkan penjahat sekalipun kalau dia memang memberi ajaran yang baik harus diikuti pula. Karena sejahat-jahatnya orang meski hanya setitik pasti ada juga sifat baiknya.
  • Wong Jawa iku nggone semu – Orang Jawa itu suka sesuatu yang bersifat semu.
    Budaya Jawa mengajarkan masalah seruwet apapun harus dihadapi dengan senyum. Apabila menegor orang lain yang berbuat kekeliruan tidak akan dikatakan dengan terus terang, akan tetapi dengan perkataan yang disamarkan sehingga orang tersebut tidak menjadi tersinggung dan sakit hati.
  • Wani marang panggawe ala – Berani berbuat kejahatan
    Banyak orang melakukan kejahatan dengan harapan tidak ketahuan atau tertangkap. Dengan begitu maka perbuatan jahat itu merupakan semacam perjudia, kalau menang untung, kalau kalah habis. Orang yang berperilaku demikian sebaiknya jangan didekati.
  •  Wataking manungsa iku kepengin kuwasa – Watak manusia itu ingin berkuasa
    Bukan rahasia lagi bahwasanya kebanyakan orang mempunyai keinginan untuk berkuasa. Dengan jalan menguasai sesuatu maka hidupnya akan lebih terjamin, meski itu dilakukan dengan jalan yang salah. Dan itu dilakukan oleh hampir di semua lingkungan masyarakat, baik yang berpangkat rendah maupun yang berpangkat tinggi.
  • Ora ana satru kang luwih mbebayani tinimbang awake dhewe – Tidak ada musuh yang lebih berbahaya daripada dirinya sendiri
    Orang Jawa bilang, kalau sudah bisa mengalahkan dirinya sendiri maka hidupnya akan sempurna. Rasa egoisme, serakah, iri hati dan dengki di dalam pikiran manusia lebih sulit dihindari kalau itu berada pada dirinya sendiri. Karena hal itu akan menimbulkan perang batin yang cukup hebat, sehingga bisa diukur siapa yang menang dan siapa yang kalah. Apabila kalah, maka orang tersebut akan jatuh ke jurang kenistaan.
  • Wani mengku anteping kalbu, kencenging pikir – Berani memabawa hati yang mantap dan pikiran yang kuat
    Ajaran ini akan membuat orang dalam melaksanakan tugasnya selalu disertai hati yang mantap dan pikiran yang kuat sehingga akan beroleh hasil yang baik dan memuaskan. *saka maneka sumber. Rampung.

Gembala Punya Cerita - Tukang Jagal Membantai 2 Bersaudara

Picture
(Andreas Hutomo)
Cerita ini kelanjutan dari Pandawa menjadi Tenaga Kerja Wayang (TKW) di Kerajaan Wirata (majalah Gembala Nop’15).

Seperti diceritakan bahwa kini Pandawa menyamar sebagai TKW di negeri Wirata dimana Prabu Mastswapati bertahta. Dewi Kunthi yang meski sudah tua tetapi masih memancarkan aura kecantikannya menyamar sebagai Salindri bertugas melayani Dewi Utari putri tunggal Prabu Matswapati, Yudhistira yang berperangai halus menyamar sebagai Wijakangka bertugas di Perpustakaan Keraton, Bima yang berperawakan tinggi besar serta kekar menyamar sebagai Abilawa ditugaskan membantu Kyai Jagal Walakas sebagai pemotong hewan. Arjuna yang  rada-rada lenje menyamar menjadi Wrehatnala yang bergaya seperti Didik Nini Thowok selain sebagai penari juga bertugas merias putri Keraton, sedangkan Nakula yang menyamar sebagai Darmagati dan Sadewa menjadi Tantripala, karena kedua-duanya masih remaja  bertugas memelihara kuda kerajaan. Semua keluarga Pandawa kini sudah mendapatkan pekerjaan tetap, meski cuma sebagai tenaga outscourcing. Prabu Matswapati sama sekali tidak tahu kalau sesungguhnya ke-enam tenaga kerja tersebut adalah keluarga Pandhawa yang sedang menyamar, sehingga tentu saja tidak ada perlakuan yang istimewa buat mereka.

Prabu Matswapati atau Prabu Durgandana dengan Permaisuri Dewi Sudagsina berputera Raden Seta, Raden Utara, Raden Wratsangka dan Dewi Utari. Pada saat itu Kerajaan Wirata sedang dilanda kemelut karena secara diam-diam adik ipar Sang Prabu yaitu  Kencakarupa dan Rupakenca mempunyai niat jahat untuk menggulingkan Prabu Matswapati dari singgasananya. Caranya dengan bujukan halus mengajak Raden Utara dan Wratsangka untuk adu jago, tetapi yang diadu bukan ayam jago beneran, diganti dengan manusia. Taruhannya adalah tanah kapling milik kerajaan. Dia mengandalkan jagonya seorang raksasa sakti bernama Rajamala. Karena kesaktiannya itu maka jagonya Utara dan Wratsangka beberapa kali keok melulu sehingga tanah kerajaan baik yang sudah serifikat maupun masih girik jatuh ke tangan Kencakarupa bersaudara. Lapangan penggembalaan ternak, lapangan sepak bola dan lapangan futsalpun dikuasainya, termasuk lapangan tenis dan lapangan badminton milik kerajaan. Bahkan bekas lokalisasi Kalijodo pun termasuk yang dipertaruhkan. Apabila diterus-teruskan maka sebentar lagi tanah keraton akan jatuh ketangan Kencakarupa dan Rupakenca sehingga singgasanapun bakal beralih menjadi milik mereka. Raden Seta anak paling tua dari Prabu Matswapati melihat kejadian tersebut menjadi prihatin, sedih dan bingung karena ketika adik-adiknya diperingatkan malah ngajak tawuran.

Dengan mengelus dada serta jenggotnya, Raden Seta mencari Wijakangka di Perpustakaan Keraton untuk mencari data kapling mana saja yang sudah jatuh ke tangan Rupakenca dan Kencakarupa. Setelah melihat data yang ada segera bertanya kepada Wijakangka.
“Wijakangka, apakah kamu mengetahui dimana ada orang yang bisa mengimbangi kesaktian Rajamala jagonya Rupakenca dan Kencakarupa?
“Saya mempunyai teman seorang jagal pemotong hewan namanya Abilawa, badannya tinggi  besar dan tukang berkelahi. Barangkali dia bisa mengimbangi kesaktian Rajamala.”
“ Baiklah, panggil dia untuk menghadapku di istana.”

Pergilah Wrehatnala ke rumah Jagal Walakas unutk memberitahu bahwa Jagal Abilawa dipanggil Raden Seta ke istana.
“Jagal Abilawa, kamu aku panggil ke sini ada tugas penting. Beranikah kamu melawan Rajamala jagonya Rupakenca dan Kencakarupa?”
“Lapan anam Gusti!”

Raden Utara dan Wratsangka merasa lega begitu mendengar kakandanya Raden Seta sudah mendapatkan jago untuk melawan Rajamala. Yakin akan kemenangannya maka Utara dan Wratsangka mempertaruhkan seluruh kerajaan Wirata seisinya dalam duel kali ini. Bukan main gumbiranya Rupakenca dan Kencakarupa mendengar janji tersebut karena mereka berdua yakin akan segera naik tahta menggeser kedudukan kakak iparnya Prabu Matswapati. Maka Rajamala segera dipanggilnya dan dipestakan. Rajamala dijamu makan minum sepuasnya agar badannya menjadi lebih kuat. Ada sapi guling dari Boyolali, celeng guling dari Pondokcabe, nasi bogana, empal genthong, dengan aneka minuman seperti ciu Bekonang, saguer cap tikus, brem Bali, Tuak Simalungun, bir pletok sampai dhawet ayu Banjarnegara. Mereka benar-benar memuaskan diri dengan pesta sampai kemlekaren.

Pada hari Jumat Kliwon tengah hari,   Abilawa dan Rajamala sudah berhadapan di dalam blabar kawat atau area pertandingan yang dibatasi tali rafia. Penonton yang ribuan jumlahnya saling berdesakan seperti demonstrasi buruh di depan Istana Merdeka untuk menyaksikan pertandingan yang spektakuler. Para manager duduk di kursi yang cukup tinggi supaya bisa melihat pertandingan dengan jelas. Di kursi sebelah kiri duduk Rupakenca dan Kencakarupa sedangkan di sebelah kanan duduk Raden Utara dan Wratsangka.

Rupanya Rajamala kekenyangan karena pesta kemarin sehingga gerakannya agak lamban, dan kesempatan ini digunakan Abilawa untuk menusukkan kuku Pancanaka yang lama nggak dicuci, nggak mempan dipotong meski pakai gergaji mesin sekalipun, dan mengenai perut Rajamala. Perut rajamala sobek dhedhel-dhuwel, isinya berhamburan keluar dan matilah dia. Sorak-sorai mbata rubuh menggema dari para suporter Abilawa. Namun sorak-sorai itu tiba-tiba terhenti ketika melihat Rajamala yang sudah mati itu ketika diceburkan ke kolam pemancingan langsung hidup kembali. Begitu terjadi berkali-kali sehingga Abilawa menjadi megap-megap kehabisan nafas dan lemas kecapekan serta hampir saja menyerah kalah.  Namun disaat yang kritis itu Wrehatnala yang menonton pertandingan dan menjadi cemas juga, segera meminta Kiai Semar untuk mendekati kolam pemancingan dan mencari tahu ada rahasia apa gerangan. Ternyata kolam itu merupakan Sendhang Panguripan milik Rupakenca dan Kencakarupa.

Siapapun yang mati asal masih segar, bila diceburkan ke dalam kolam itu akan hidup kembali. Konon Marlyn Monroe juga pernah mau dibawa ke sendang itu tetapi ditolak oleh Imigrasi. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong segera menyamar menjadi tukang bakso kemudian mendekati para prajurit penjaga kolam. Bakso urat sebesar bola tenis ditambah thethelan  ternyata cukup menggugah selera para prajurit itu, dan mereka segera berebut minta pada Semar yang dengan sukacita meladeninya. Tak lama kemudian para prajurit penjaga kolam itu berjatuhan dan nggloso bergelimpangan karena makan bakso yang dicampur racun tikus. Semar segera mencelupkan keris pusaka Pulanggeni milik Wrehatnala ke dalam air kolam dan bunyinya mendesis seperti besi panas disiram air. Air kolam mendadak menggelegak berbuih karena mendidih lebih dari 700 derajat.

Ketika Rajamala dimatikan lagi oleh Abilawa, kembali diceburkan ke dalam kolam tetapi bukannya hidup lagi, badannya justru mrotholi sehingga tinggal tulang kerangkanya saja. Melihat hal tersebut Rupakenca dan Kencakarupa ngamuk punggung alias marah sekali kepada Abilawa karena jagonya dikalahkan bahkan dibunuh sampai mlonyoh. Ketika Wijakangka kakak tertua Abilawa melihat Rupakenca dan Kencakarupa mencari Abilawa, dia menyarankan agar Abilawa lari saja supaya pertumpahan darah dapat dihindarkan. Abilawa segera naik taksi dan masuk ke sebuah Mall di Lebakbulus, kemudian duduk santai sambil ngadem dan nglamuti es lilin jumbo. Namun Rupakenca dan Kencakarupa tidak kehilangan jejak dan segera menyusul ke mal dengan taksi uber. Abilawa yang sedang menikmati kemenangannya dan lagi asyik nglamuti es lilin diterjang oleh dua bersaudara itu. Kecewa karena es lilinnya jatuh, Abilawa tanpa ba-bi-bu langsung menangkap Rupakenca dan dilemparkannya ke lantai dasar sehingga lehernya patah dan mati seketika. Orang-orang yang sedang berbelanja dan makan di restoran berhamburan menyelamatkan diri lari ke parkiran. Kencakarupa terkejut bukan main melihat saudaranya dibantai Abilawa dan dengan senjata terhunus mencoba menerjang Abilawa. Abilawa yang sudah siap siaga segera menangkap tangan Kencakarupa kemudian menusukkan kuku Pancanaka ke ulu hatinya dan matilah Kencakarupa. Jenasah dua bersaudara saling menindih di lantai dasar mal dengan darah yang menggenang. Karena tidak enak dengan manager mal dan para pengunjung maka kedua jenasah bersaudara itu oleh Abilawa diserahkan ke Perkumpulan IKA yang kebetulan punya dua mobil jenazah untuk dimakamkan sebagaimana mestinya. Biar bagaimanapun juga mereka berdua adalah adik ipar raja.

Mendengar adik iparnya dibunuh Abilawa maka Prabu Matswapati menjadi murka dan dipanggilnya Abilawa beserta seluruh kerabatnya dan dijatuhi hukum gantung sampai melet. Tiba-tiba sebelum hukuman dilaksanakan, Raden Seta, Utara dan Wratsangka melaporkan kejadian yang sebenarnya bahwa Pamannya sendiri yang juga adik ipar Prabu Matswapati tersebut berniat memberontak dan menggulingkan kekuasaannya. Apalagi diberitahu juga bahwa sebenarnya Abilawa bersaudara itu adalah para Pandhawa yang sedang menyamar. Oleh karena itu sabda raja diralat dan hukuman gantung sampai melet dibatalkan dan diganti dengan berpestaria bujana andrawina makan krowotan. *sumber pewayangan.

Picture
Powered by Create your own unique website with customizable templates.